Minggu, 03 Februari 2013

Renungan untuk Ayah dan CaLon Ayah


Renungan u. kita semua, terutama para Ayah dan calon ayah

Ketika lahir, anakku gelap benar kulitnya, lalu ku hbilang pada ayahnya: "Subhanalloh..., dia benar2 mirip dg-mu ya...?!". Suamiku mjawab:"bukankah ssuai dg keinginanmu? kau bilang kalau dapat anak laki2 ingin sprti aku". Aku mengangguk. Suamiku kmbali bkerja spt biasa.
Kami lalu mengadakan syukuran, kami bharap anak kami kami mjadi penghapal qur'an, dan bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rosulnya.

Ahmad tumbuh menjadi anak yang cerdas, persis spt ayahnya (ayah sekarang sedang menyelesaikan studi S3-nya dibidang matematika)  Ahmad beumur 5 thn, kami pun kembali mengadakan syukuran.  Kami mengundang sanak saudara dan kerabat, kami semua berdandan rapi. Tibalah saat Ahmad menjdi bosan dan mengesalkan Tiba-tiba ia minta naik ke punggung ayahnya. Entah pa yaang membuat ayahnya berang, mungkin karena Ahmad sudah sekolah, ayahnya menganggap Ahmad sudah terlalu besar untuk bermain kuda-kudaan, atau karena banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak ayahnya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Ahmad terluka hatinya.

Sejak saat itu Ahmad jadi pendiam, murung, tak lagi bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah Aku mencoba mendekati suamiku dan menyampaikan alasanku. Tapi suamiku tidak perduli, ia sibuk menyelesaikan papernya dan tidak mau diganggu oleh urusan yang seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu, Ahmad telah selesai S1, pemuda gagah, pandai, dan pendiam itu telah memberikan aku seorang menantu dan seorang cucu. Ketika cucuku itu lahir, istrinya berseru sambil tertawa: "Subhanalloh, kulitnya gelap mas,  persis spt kulitmu". Ahmad menoleh dg kaku, tampak ia tersinggung dan amat malu. "Salahmu, kamu yg ingin sendiri kan, kalau dapat anak laki-laki, ingin seperti aku!"

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yg pedih di hatiku, ada g mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu, kami, nenek dan kakeknya datang bertamu. Ahmad kecil sdg digendong ayahnya. Menangis ia, tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak. "Ah, gimana sih, kok ga di kasih pampers anak ini!".

Suamiku membaca korannya, tak tergerak, malah tampak acuh oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini segera membersikan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu ku rajut dalam pedih dan duka seorang istri dan ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.

Aku rebut koran dari tangan suamiku, aku berkata padanya:"Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! pada acara syukurannya, kau ingat? kau tolak ia merangkak di punggungmu! dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi, dia asing dengan anaknya sendiri.

"Alloohumma sholli 'alaa Muhammad, Alloohumma sholli 'alaihi wasallam. Wahai Rosululloh, aku ingin anakku menirumu.  Engkau bopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka, engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati, dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "BEKAS NAJIS INI BISA KU SEKA, TAPI APAKAH KAU BISA MENGGANTIKAN SARAF YANG PUTUS DI KEPALANYA?"

Aku memandang suamiku yang terpaku, aku memandang anakku yg tegak diam bagai karang tajam. Ku pandangi keduanya, berlinang air mata. Aku tak boleh putus asa dari RahmatMU ya ALLOH..., bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, ku bimbing ia mendekat kepada Ahmad. Ku bawa tangannya menyisir kepala anaknya, yg berpuluh tahun tidak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad brguncang menerima belaian ayahnya, kukatakan kepda mereka berdua, "Lakukan ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajalyg tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali CINTA"
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yg akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! juga di permukaan dunia.
Tak akan peernah ada perdamaian selama anak laki-laki tidak diajarkan rasa kasih daan sayang, ucapan kemesraan, ssentuhan dan belaian Bukan hanya pelajaran menjadi jantan seperti yang kalian pahami. KEGAGAHAN TANPA PERASAAN".

Dua laki-laki dewasa, mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa, dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah, tapi harus dimulai. Aku seeahkan bayiya Ahmad ke pelukan suamiku. Aku berkata padanya, "Tidak ada kata terlambat untuk memulai, sayang.."

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua,, membuka kisah-kisah lama mereka yg penuh kabut rahasia, dan menemukan, betapa sesungguhnya diantara keduanya Alloh menitipkan perasaan saling membutuhkan yg tak pernah terungkapkan dg kata atau sentuan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yg sesak oleh rasa bahagia. Syukur padaMu, ya Alloh! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkau lah cahaya di ujung keputus asaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku, aku titipkan mereka di tanganMU. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabi-ku, akuk ingin sekali berkata: "Ya Nabi.., aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!"


(diambil dari buletin AKHBAR PERSISTRI rubrik Al-Mar'ah, sumber diambil dari Dakwatuna.com)

0 komentar:

Posting Komentar